"http://www.wasirruh.blogspot.com" http://www.bluclicks.com - You get cash from clicks
letakkan Script Iklan anda disini

Belajar Mandiri, Ayo KLiK MENGHASiLKAN......!!!!!!! 150% Sukses

BikiN bLog Gratis

BluM pUnYa Blog?
Ayo kita belajar berkreasi...
selain pengetahuan juga bisa menambah penghasilan...

yang hobi baca-baca kisah para nabi link ini juga menyediakan kok!!!

Jumat, 06 Agustus 2010

NEGARA DAN KONSEP NEGARA MASA YUNANI KUNO

Oleh : Agung Nugroho

Negara sebagai sebuah konsep dan ilmu begitu dinamis sepertihalnya ilmu-ilmu lain yang terus mengalami perubahan serta perkembangan. Seiring dengan perkembangan masyarakat, sebagai sebuah konsep atau ilmu, negara tak pernah terdefinisikan secara konstan dan pasti. Diantara para ilmuwan, atau bahkan ahli ilmu negara (ahli tata negara), definisi tentang negara selalu berbeda-beda. Semua bergantung dari cara pandang masing-masing pemikir (ahli). Ruang dan waktu juga mempengaruhi pengertian atau terminologi mengenai negara.



Perubahan-perubahan dalam masyarakat, mempengaruhi cara pandang pemikiran di seputar negara atau teori-teori mengenai negara, apakah sebagai sebuah entitas politik maupun kekuasaan. Meskipun demikian, diantara berbagai pendapat dan teori mengenai negara dari para ahli, tetap ada satu benang merah yang bisa ditarik sebagai unsur pokok dari sebuah negara. Secara sederhana ialah adanya variabilitas yang bersifat integratif atau satu-kesatuan utuh, bahwa unsur-unsur negara yang paling pokok ialah menyangkut dimensi geografis-teritorial, bahwa negara harus meliputi sebuah wilayah, kemudian dimensi politik-kekuasaan, yakni adanya pemerintahan, serta dimensi demografis, penduduk atau warga negara.



Dimensi yuridis, seperti pengakuan (de facto dan de jure) secara internasional, merupakan faktor keempat yang pada perkembangan sejarah masyarakat dunia kekinian, hal itu menjadi salah satu unsur yang juga menjadi penting (pokok) bagi Negara. Pada masa kini, terbentuknya negara baru harus memperoleh pengakuan internasional, secara de fakto maupun de jure.



Konsep atau pemikiran mengenai negara yang kita ketahui sekarang ini, juga sebenarnya sudah dirintis sejak 4.000 tahun lalu. Dilihat dari usianya, maka sebagai sebuah pemikiran, teori negara berusia sangat tua, yakni mulai muncul dan menjadi pusat kegelisihan para pemikir (intelektual) pada masa Yunani Kuno (Ancient Greek).



Sejak masa Yunani Kuno, pemikiran mengenai negara (sebagai konsep (teori) maupun ilmu) terus berkembang. Secara singkat kemudian memasuki masa-masa kekuasaan Romawi Kuno (Ancient Rome). Dan seiring perubahan-perubahan atau proses sejarah dalam masyarakat, negara sebagai teori dan ilmu terus mengalami “pencanggihan” (berkembang disesuaikan dengan situasi dan kondisi) yang melingkupi proses perubahan dalam masyarakat. Lalu memasuki masa klasik atau pra-modern yang di Eropa ditandai dengan abad pertengahan atau abad kegelapan, masa peralihan yang ditandai dengan Rennaisance (masa pencerahan/Aufklarung di awal abad 16), masa modern sampai masa pasca-modern atau masa sekarang.





*****



MASA YUNANI KUNO :



Diskursus atau wacana ilmiah mengenai negara selalu diwarnai pertanyaan mengenai legitimasi kekuasaan negara yang besar atas rakyat. Pemikiran mengenai hal ini telah jauh dirintis para pemikir sejak jaman Yunani kuno (Ancient Greek) atau masa Yunani Purba dengan sejumlah nama besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan sederet pemikir besar lainnya.



Munculnya banyak pemikiran dan gagasan itu tidak lepas dari tradisi ilmiah yang berkembang pesat pada masyarakat Yunani Kuno. Berbagai hal menjadi pemikiran, beragam ilmu dirintis para cerdik pandai sebuah negara kuno di kawasan Laut Tengah, Eropa, dari mulai ilmu humaniora seperti ilmu sosial, filsafat, politik, ekonomi dan budaya sampai pada ilmu alam, matematika, biologi bahkan kedokteran.



*****



SOCRATES (470 – 309 SM)



Untuk ilmu atau teori negara sendiri, secara lebih konseptual sebenarnya muncul sejak masa Plato dan Aristoteles. Hanya saja, sebagai sebuah wacana, hal itu lebih dulu dirintis oleh pemikir besar yang menjadi maha guru keduanya, yakni Socrates (470 – 309 SM). Pada masa Socrates, ide-ide mengenai beragam ilmu sudah menjadi diskursus publik di kalangan masyarakat Yunani.



Sampai datanglah gelombang intelektual dari Asia Kecil yang disebut dengan Kaum Sophis yang membawa aliran dan gaya hidup Sophisme. Orang-orang Sophis ini dikenal sebagai cerdik pandai, hanya saja keilmuannya digunakan untuk hal-hal pragmatis yang kesemuanya bermuara pada kepentingan sesaat pribadi. Orang-orang Sophis ini pengertiannya hampir mirip dengan sebutan K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) mengenai “Intelektual Tukang” ketika menyindir para intelektual yang berada di sekitar kekuasaan Soeharto, penguasa Orba.



Dorongan kepentingan pribadi yang lebih besar menjadikan pemikiran dan ajaran kaum Sophis dinilai dekaden (perusak moral). Kaum Sophis cenderung oportunistik dan menjilat para penguasa sehingga pemikirannya tidak orisinil dan otentik, akan tetapi lebih pada bagaimana gagasan dan pemikirannya memuaskan para penguasa, dengan demikian mereka memperoleh kemudahan-kemudahan dalam menjalani praksis kehidupan kesehariannya.



Diantara pemikiran kaum Sophis mengenai negara ialah pentingnya negara ditentukan oleh para penguasa. Konsep keadilan itu subyektif dan hanya merupakan hak para penguasa. Karenanya, bentuk-bentuk kekuasaan negara apapun bagi penguasa adalah syah dan merupakan jalan terbaik. “Jalankan kebatilan, meskipun harus bertopeng keadilan,” demikian pendapat kaum Sophis.



Sebagai seorang pemikir yang mengagungkan ide-ide kebenaran, Socrates begitu muak dengan dominasi pemikiran kaum Sophis. Apalagi negara Yunani menjadi kacau balau setelah kedatangan kaum Sophis. Socrates ini lalu memberanikan menyampaikan gagasan-gagasannya yang terkesan “revolusioner” atau melawan mainstream pemikiran ketika itu.



Berbeda dengan kaum Sophis, Socrates menyampaikan pemikirannya yang egaliter. Misalnya soal konsep keadilan, bila kaum Sophis berpandangan bahwa keadilan hanya milik penguasa dan bersifat subyektif, Socrates sebaliknya. Dia mengatakan bahwa keadilan itu bersikap obyektif dan dapat dimiliki setiap warga negara. Negara atau penguasa berkewajiban mewujudkan keadilan bagi semua orang.



Socrates berpandangan, manusia memiliki rasa kebenaran dan keadilan. Hanya saja, rasa keadilan dan dorongan kebenaran terkubur nafsu duniawi, ketamakan dan nafsu berkuasa. Dia berpandangan, untuk jadi makmur dan adil, negara harus dikuasai oleh orang-orang yang didorong perasaan keadilan sejati, keadilan otentik.



Bersama dengan pendapatnya itu, Socrates menguraikan tentang negara menurut pemikirannya. Negara bagi Socrates harus diarahkan pada tujuan untuk mewujudkan keadilan yang harus bisa dinikmati semua orang, bukan hanya milik penguasa yang pada masa Yunani Kuno sering berganti-ganti. Pada masa Socrates, gagasam-gagasan demokrasi mulai tumbuh.

Pemikiran Socrates jelas tidak diterima penguasa. Puncaknya, Socrates diseret ke pengadilan dengan tuduhan mengajarkan ide-ide yang bisa menganggu keamanan, ketertiban dan keselamatan negara. Melalui sebuah pengadilan manipulatif, Socrates akhirnya diminta untuk meminum racun. Tragedi minum racun merupakan bentuk konsistensi Socrates bahwa gagasan dan pemikirannya merupakan kebenaran. Para penguasa, melalui kaum Sophis meminta Socrates untuk menenggak racun ular sebagai bukti bahwa gagasannya itu merupakan kebenaran. Socrates yang meyakini bahwa gagasannya itu benar, memilih mati dengan keyakinannya (membuktikannya dengan berani minum racun), daripada hidup dengan keyakinan yang diragukan.



Socrates telah berusaha melakukan perubahan, mengajak orang berbicara dengan mengedepankan akal. Penghormatan akal diekspresikan Socrates sampai pada hukuman mati atas dirinya . Socrates melihat hukuman mati hanya salah satu bentuk rasionalitas yang harus ditanggung. Murid-muridnya sempat mencoba membebaskan Sang Guru dengan menyogok sipir penjara. Tapi Socrates malah menolak tegas dengan bertanya…”Mana yang lebih agung, Aku atau Athena ?…”. Dia akhirnya memilih mati dengan cara yang dianggapnya bersifat rasional.





*****



PLATO (429 – 347 SM)



Gagasan Plato tentang negara hampir senada dengan Aristoteles. Murid terbaik Socrates itu menyatakan bahwa negara memerlukan kekuasaan mutlak untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral yang rasional. Hanya saja, kekuasaan mutlak (absolutisme) negara itu harus diarahkan pada moral-hazard kekuasaan, yakni melindungi warga negara, menjamin kesetaraan hukum, keadilan dan kemakmuran ekonomi seluruh warganya.



Plato lahir dari keturunan bangsawan di Athena yang menjadi pusat peradaban Yunani. Latar belakang pendidikannya yang tinggi, dan persentuhannya dengan Socrates menjadikan Plato sebagai pemikir yang gelisah dengan perkembangan masyarakat Yunani ketika itu. Politik kacau balau, para penguasa sewenang-wenang dan korupsi merajalela menggiring Plato pada kecemasan-kecemasan intelektual. Karena merasa muak dengan kondisi sekelilingnya, Plato lalu lebih memusatkan pada dunia pemikiran, mengikuti jejak gurunya, Socrates.



Bedanya, Socrates mengemukakan gagasan dan pemikirannya secara lisan, melalui diskusi dan pidato-pidato, Plato lebih konseptual. Pemikirannya dituangkan dalam tulisan dan dibukukan. Diantaranya yang menyangkut negara dan kekuasaan ialah “Politea” atau “The Republic” yang membahas tentang negara, lalu “Politicon” atau “The Statemens” membahas tentang negarawan dan “Nomoi” atau “The Law” berisi tentang peraturan dan undang-undang.



Lewat buku “Politea”, ajaran Plato tentang negara didasarkan pada aliran idealisme, filsafatnya juga digolongkan dengan filsafat idealisme. Buku itu mengurai tentang konsep negara sempurna (ideal state) yang berbentuk ide-ide atau cita-cita. Dalam “Politea”, Plato membagi dua dunia, yakni dunia ide, cita atau pikiran yang merupakan “kenyataan sejati” dan dunia alam, bersifat materil atau dunia fana yang bersifat palsu. Untuk mencapai tatanan negara yang sempurna, maka dunia alam harus disamakan dengan dunia ide. Yakni negara yang memenuhi tiga jenis ide, yakni ide tentang kebenaran, keindahan atau seni (estetika) dan kesusilaan (etika).



Pada jaman yang sama, gagasan bahwa rakyat dapat menentukan kebijakan negara yang dikenal dengan nama demokrasi mulai lahir dengan bentuk masih sangat sederhana. Sistem demokrasi di negara kota (polis atau city state) Yunani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 SM) merupakan demokrasi langsung (direct democracy), yaitu pemerintahan di mana hak membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasar prosedur mayoritas. Walaupun pengambilan keputusan secara kolektif telah mulai diselenggarakan, pelembagaannya belum dikenali secara utuh, karena pemikiran mengenai teori negara baru muncul.



Plato sebenarnya mengritik demokrasi langsung di negara kota atau Polis. Ini karena praktek demokrasi seperti itu, berpotensi memunculkan praktek kekeliruan dalam memilih penguasa. Sebagai alternatif, Plato berargumen manusia perlu diatur oleh orang yang punya akal sehat, merekalah yang pantas jadi pemimpin. Pembiaran kepada semua orang untuk berkuasa melalui proses demokrasi langsung ala Polis tidak benar hingga Plato menginginkan terbentuknya pemerintahan segelintir orang (oligarki) terdiri dari orang-orang terpelajar (philospher king). Yang dipikirkan Plato sebetulnya sebuah oligarki yang bisa melawan demokrasi ala Polis yang setiap saat berpeluang melahirkan otokrasi atau kekuasaan tergenggam di satu tangan penguasa.



Plato berpendapat, untuk mencapai tatanan sempurna, negara harus memenuhi tiga syarat utama. Pertama, negara harus diperintah para cerdik pandai, pemerintahan harus ditujukan pada kepentingan umum dan rakyat harus berdaulat atau mencapai kesusilaan sempurna. Sesuai sifat manusia (kebenaran, keberanian dan kebutuhan), Plato membagi kelas-kelas dalam negera, para penguasa (the rulers), para pengawal negara (the guardian) dan pekerja (the artisans).



Sejumlah bentuk negara pun mengalami pembagian pada pemikiran Plato. Disebutlah bentuk negara Aristokrasi (kekuasaan cerdik pandai), Oligarki (kekuasaan segelintir orang tanpa memperhatikan aspek keadilan umum), Timokrasi/Plutokrasi (pemerintahan segelintir orang kaya), demokrasi (pemerintahan rakyat banyak), tirani (pemerintahan satu tangan).



Plato juga pernah dipercaya memimpin negara, namun gagal. Lalu dia menulis buku keduanya, “Politicon” (The Statemens) yang membedakan bentuk-bentuk negara. Yakni Monarki (pemerintahan satu tangan oleh raja), Aristokrasi dan Demokrasi.



Dari Plato ini, pemikiran demokrasi berawal. Dalam perkembangannya kemudian memunculkan berbagai konsep tentang negara dan demokrasi. Hanya saja, seluruh konsep itu hancur dalam perang Philopo antara Sparta dan Athena. Hancurnya Athena ikut menenggelamkan Yunani yang pada abad-abad berikutnya munculan kekuasaan Romawi. Yang menarik, Yunani tidak mengenal individualitas dalam demokrasi. Hak-hak individual tidak dikenal dalam demokrasi Athena. Masyarakatnya adalah masyatakat kolektif yang disebut community yang maknanya sama dengan Polis. Jadi Polis itu gabungan negara yang di dalamnya ada pemerintahan (Condominium), ada banyak polis termasuk di dalamnya Athena dan Sparta yang kemudian mengembangkan konsep militerisme.



Dasar konsep negara (state) dan kewarganegaraan lahir pada masyarakat Yunani kuno dengan filsuf Plato sebagai pencetus gagasannya dan sebelumnya dirintis Socrates Di dalam negara Polis (kota), kepentingan negara mengatasi kepentingan individu, dan tidak ada satu pun yang boleh dirahasiakan. Pengorganisasian polis juga menyebabkan setiap warga negara sederajat, tiap warga negara bisa mengambil bagian dalam urusan negara, namun ada perkecualiannya. Hak kewarganegaraan itu terbatas atas kelompok minoritas, yakni kaum pendatang, para budak dan perempuan. Mereka dianggap tidak berhak mengambil bagian dalam urusan negara. Plato dalam karyanya “The Republic” (Politea) memaparkan, dalam negara polis, rasa kebersamaan (kolektivitas) harus ditumbuhkan.



Pemikiran Plato mengenai kedudukan perempuan, belakangan menuai kritik tajam dari para aktifis gerakan emansipasi perempuan. Kedudukan perempuan yang subordinan dalam khasanah pemikiran Plato, digugat para aktifis perempuan yang menyuarakan perlunya kesetaraan gender dalam berbagai bidang kehidupan, tak terkecuali politik dan kenegaraan.



Di Indonesia, antitesa dari pemikiran Plato di lapangan politik mulai tumbuh dan berkembang semenjak era reformasi bergulir. Bahkan melalui amandemen, posisi perempuan mulai dihargai dengan adanya keterwakilan dengan margin prosentase minimal kedudukan perempuan sebesar 30 persen baik di lembaga kenegaraan seperti DPR maupun kepengurusan di dalam partai-partai politik.





*****



ARISTOTELES (382 – 322 SM)



Gagasan negara Aristoteles tidak jauh berbeda dengan gurunya, Plato. Prinsipnya kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal sepatutnya. Individu akan menjadi liar dan tak terkendali (anarki) bila negara tidak memiliki kekuasaan besar. Latar belakang dari pemikiran itu berdasar pada kekhasan individu memiliki kecenderungan keras untuk bertindak atas dasar kepentingan sendiri. Oleh karena itu, agar keadaan masyarakat tidak menjadi kacau, harus ada lembaga kuat untuk mengarahkan individu-individu dalam masyarakat. Arah dan tujuan negara yang dimaksud Aristoteles (dan juga Plato) adalah penegakan moral dalam masyarakat.



Berdasarkan pemikiran tersebut, Aristoteles kemudian mengemukakan konsepnya tentang siapa yang harus menyelenggarakan kekuasaan tersebut. Sampai disini, Aristoteles mengekor pada gurunya (Plato), menurutnya negara harus dikuasai oleh para filsuf karena hanya filsuf yang dapat melihat persoalan yang sebenarnya dalam kehidupan dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan demikian para filsuf memiliki kewenangan mutlak dalam negara atas dasar kapasitas pribadinya. Bentuk pemerintahan ini dinamakan "Aristokrasi Para Cendekia".



Aristoteles dilahirkan di kota Stagira, Macedonia, 384 SM. Ayahnya seorang ahli fisika kenamaan. Pada umur tujuh belas tahun Aristoteles pergi ke Athena belajar di Akademi Plato. Dia menetap di sana selama dua puluh tahun hingga tak lama Plato meninggal dunia. Dari ayahnya, Aristoteles mungkin memperoleh dorongan minat di bidang biologi dan "pengetahuan praktis". Di bawah asuhan Plato dia menanamkan minat dalam hal spekulasi filosofis.



Pada tahun 342 SM Aristoteles pulang kembali ke Macedonia, menjadi guru seorang anak raja umur tiga belas tahun yang kemudian dalam sejarah terkenal dengan Alexander Yang Agung (Alexander The Great). Aristoteles mendidik Alexander muda dalam beberapa tahun. Di tahun 335 SM, sesudah Alexander naik tahta kerajaan, Aristoteles kembali ke Athena dan di situ dibukanya sekolahnya sendiri, Lyceum.



Dia berada di Athena dua belas tahun, satu masa yang berbarengan dengan karier penaklukan militer Alexander. Alexander tidak minta nasehat kepada bekas gurunya, tetapi dia berbaik hati menyediakan dana buat Aristoteles untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan. Mungkin ini merupakan contoh pertama dalam sejarah seorang ilmuwan menerima jumlah dana besar dari pemerintah untuk maksud-maksud penyelidikan dan sekaligus merupakan yang terakhir dalam abad-abad berikutnya.



Walau begitu, pertaliannya dengan Alexander mengandung pelbagai bahaya. Aristoteles menolak secara prinsipil cara kediktatoran Alexander dan tatkala si penakluk Alexander menghukum mati sepupu Aristoteles dengan tuduhan menghianat, Alexander punya pikiran pula membunuh Aristoteles. Di satu pihak Aristoteles kelewat demokratis di mata Alexander, dia juga punya hubungan erat dengan Alexander dan dipercaya oleh orang-orang Athena. Tatkala Alexander mati tahun 323 SM golongan anti-Macedonia memegang tampuk kekuasaan di Athena dan Aristoteles pun didakwa kurang ajar kepada dewa. Teringat nasib yang menimpa Socrates 76 tahun sebelumnya, Aristoteles lari meninggalkan kota sambil berkata dia tidak akan diberi kesempatan kedua kali kepada orang-orang Athena berbuat dosa terhadap para filosof. Aristoteles meninggal di pembuangan beberapa bulan kemudian di tahun 322 SM pada umur enam puluh dua tahun.



Meski sebagai murid Plato, namun gagasan dan pemikiran Aristoteles memiliki perbedaan prinsip. Bila Plato dikenal dengan ajaran Idealisme, Aristoteles sebaliknya, dia melandasi pemikirannya pada aliran Realisme.



Realisme menjadi dasar dari seluruh pemikiran Aristoteles, baik mengenai negara, politik termasuk juga filsafat. Sebagaimana realisme, pemikiran Aristoteles didasarkan pada kenyataan. Metode berpikirnya juga berbeda dengan Plato yang “deduktif-idealis”. Aristoteles banyak menggunakan silogisme berpikir “induktif-empiris”, menarik (abstraksi) hal-hal khusus untuk dijadikan kaidah-kaidah yang lebih bersifat umum (general). Metode berpikir seperti itu menjadikan Arostoteles sebagai “Bapak Ilmu Empiris”.



Berbeda dengan Plato, Aristoteles tidak mengakui adanya dualisme dunia (antara ide dan alam). Baginya yang ada adalah alam realitas atau dunia kenyataan yang bersifat materil dan bisa diamati dengan pancaindra. Pemikiran filsafatnya yang realis juga menjadi nafas dalam penyusunan konsep mengenai negara dan demokrasi, kendatipun dalam banyak hal tidak jauh berbeda dengan pemikiran Plato.



Sepanjang hidupnya, Aristoteles menulis banyak buku yang kemudian menjadi warisan amat berharga dari perkembangan pemikiran dunia. Antaranya yang terkenal ialah “Nicomechean Ethics” atau “Ethica” dan “Politica”. Dalam “Ethica” Aristoteles yang juga ahli botani, biologi dan kedokteran, membahas pengertian-pengertian sejumlah hal abstrak seperti kesusilaan dan keadilan. Buku “Ethica” merupakan pengantar untuk buku berikutnya dari Aristoteles, yakni “Politica” yang banyak membahas tentang hal-hal lebih konkrit mengenai negara, bentuk-bentuk negara, peraturan, undang-undang, hubungan sosial dan banyak lagi.



Pertemuan ide, gagasan atau pemikiran Aristoteles dengan Plato banyak terdapat dalam “Politica”. Misalnya soal tujuan negara, menurut Aristoteles, negara adalah lembaga penyelenggara segala bentuk kepentingan warga dan berusaha supaya warga negara hidup makmur serta sejahtera. Bandingkan dengan Plato, nyaris tidak ada perbedaan prinsipil menyangkut konsep dan tujuan negara. Baik Aristoteles dan Plato sama-sama setuju kalau negara memiliki kekuasaan mutlak untuk mengatur prinsip-prinsip umum mengenai keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh warga negara. Keduanya sama-sama penganjur gagasan perlunya negara dipimpin para filosof atau cerdik pandai yang memiliki pemikiran cerdas, didorong oleh perasaan kebenaran serta berkepribadian paripurna.



Aristoteles beranggapan, bahwa negara terjadi karena adanya kebutuhan-kebutuhan manusia (warga negara) sebagai mahluk politik atau “Zoon Politicon”, berbeda secara fundamental dengan hewan dan tumbuhan. Masyarakat manusia ialah mahluk sosial yang membutuhkan hubungan atau interaksi-interaksi sosial satu sama lain. Untuk itu membutuhkan keteraturan dan wadah yang disebut dengan negara. Kedudukan negara sama pentingnya dengan warga negara, karenanya Aristoteles berpendapat bila negara terjamin dengan sendirinya kebutuhan warga negara otomatis akan ikut pula terjamin. Pemerintah harus melindungi kepentingan umum dengan berlandaskan pada keadilan yang merupakan keseimbangan kepentingan bersama. Aristoteles juga penganjur universalisme dan kolektivisme.



Selama mengembangkan pemikirannya mengenai negara, Aristoteles pernah menyelidiki 150 sampai 200 buah kontitusi polis-polis (negara kota) di Yunani. Dari konstiusi-konstitusi itu, diambil kesimpulan mengenai bentuk-bentuk negara. Yakni bentuk cita (ideal form), meliputi, Monarki (pemerintahan satu orang atau kerajaan), Aristokrasi (pemerintahan sekelompok orang) dan Republik katau Politea (pemerintahan orang banyak untuk tujuan kepentingan umum). Kemudian bentuk pemerosotan (corruption form), antaranya Tirani/Despotie (negara yang tujuannya hanya untuk kepentingan satu orang secara diri sendiri) dan Oligarki/Plutokrasi (suatu pemerintahan dimana pimpinan negara berada pada segolongan orang kaya, kekayaan sebagai dasar penghormatan). Bentuk ketiga ialah Demokrasi, pemerintahan rakyat banyak yang belum tentu menjalankan kepentingan-kepentingan rakyat banyak.



Aristoteles mengemukakan, bentuk-bentuk negara itu dalam kenyataannya tidak ada. Yang ada ialah pemerintahan sistim campuran (mixed form) dan Monarki, Aristokrasi dan Politea (Republik) dalam kenyataaannya adalah gabungan bentuk cita dan pemerosotan. Aristoteles berkesimpulan, bentuk negara sebenarnya hanya ada dua, yakni bentuk campuran (mixed form) dan pemerosotan (corruption form).



Dari sederet nama filsuf atau pemikir Yunani Kuno, Aristoteles bisa disebut sebagai pemikir yang memberi kontribusi besar pada perkembangan ilmu politik. Karyanya yang berjudul “Politica” memiliki peran besar dalam perkembangan dasar-dasar ilmu politik hingga saat ini. Tak heran jika Alexander Agung terpana dengan pandangan-pandangan politiknya tentang negara.



“Politica” mengulas seluk beluk persoalan negara secara mendasar. Berisi banyak pertanyaan yang sederhana hingga memunculkan jawaban-jawaban yang tidak sederhana, bahkan menimbulkan efek berdebatan intelektual yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Inilah kelebihan dari Aristoteles yang bisa dibilang memiliki pemikiran kritis, mendalam, holistik, dan visioner.



Selain memberikan sumbangan pemikiran pada politik dan Negara, sumbangsih pemikiran Aristoteles juga pada gagasan mengenai etika dan metafisika, dia juga peletak dasar ilmu logika. Pemikirannya yang realistis adalah antitesa dari Plato yang idealis. Ia lebih mengagumi penggunaan nalar yang rasional dan terukur.



“Setiap negara adalah kumpulan masyarakat dan setiap masyarakat dibentuk dengan tujuan demi kebaikan, karena manusia bertindak untuk mencapai sesuatu yang mereka anggap baik. Namun, jika seluruh masyarakat bertujuan pada kebaikan, negara atau masyarakat politik memiliki kedudukan tertinggi dari yang lain dan meliputi elemen-elemen penunjang lainnya, serta bertujuan pada kebaikan yang tertinggi”…itulah sepenggal inti ajaran Aristoteles tentang Negara dalam bab pertama “Politica”.



*****



Selain Socrates, Plato dan Aristoteles, Yunani Kuno sebenarnya mengenal banyak pemikir yang gagasannya tidak kalah cerdas. Antaranya Epicurus (341 – 270 SM), Zeno (300 SM) dan Polybios (204 – 122 SM). Pemikiran ketiganya juga mewarnai perkembangan dunia pemikiran pada abad-abad berikutnya. Para pemikir dan intelektual jaman tengah atau abad pertengahan Eropa banyak terpengaruh oleh para pemikir Yunani Kuno, tak terkecuali para intelektual Islam pada kekhalifahan Dinasti Abbasiyah dimana karya-karya pemikir Yunani Kuno banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.



Asimilasi antara bangsa Arab (Persia) dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada berabad-abad masa pemerintahan Bani Abbasiyah 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M)., bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat. Pada masa inilah, karya-karya Socrates, Plato, Aristoteles dan pemikir besar Yunani Kuno lainnya diterjemahkan oleh pemikir Islam.



Gerakan terjemahan pemikiran Yunani Kuno dalam masa Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq (logika). Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas termasuk juga penulisan kembali gagasan dan pemikiran yang berkembang pada masa Yunani Kuno.



Transfer pemikiran Yunani Kuno ke seluruh dunia kemudian dilakukan para pemikir di masa kejayaan Islam yang kemudian menjadi pijakan pemikir Eropa pada abad pertengahan, masa renaissance sampai pada pemikir-pemikir di sampai masa modern seperti sekarang ini. Pemikiran dan gagasan Socrates, Plato dan Aristoteles, baik tentang filsafat, politik maupun negara, bersifat abadi, tak lekang di makan jaman. Sampai hari ini.







*****







Daftar Preferensi/Pustaka :



1. Dr. Chusnul Mariyah, Ketua Program Pascasarjana di FISIP UI, “Islam, Muslim, Demokrasi, Politik of Difference”. Thn 2005.
2. Dr. Adi Suryadi Culla, Pengamat Politik Universitas Hasanudin, Makasar. “Pengantar Perkembangan dan Praktek Demokrasi” Thn 2008.
3. Buku “Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah”. Michael H. Hart. Thn 1978. Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, Thn 1982.
4. “Politik” (La Politica), Visimedia Pustaka. Thn 2007.
5. Al Mihrab Online. “Masa Khalifah Banni Abbas” (Masa Kejayaan Islam). Thn 2005.

6. Buku “Sari Perkuliahan Ilmu Negara”, Sakran Basah, S.H.

Tidak ada komentar: